Kita hidup di zaman dimana orang bekerja lebih keras dari generasi sebelumnya, tapi rasa cukup yang justru semakin jauh.
Jam kerja bertambah. Pekerjaan bisa dibawa ke mana-mana. Kebutuhan hidup seolah bisa dipenuhi hanya dari layar kecil di tangan.
Tapi anehnya, banyak yang tetap merasa kurang. Bukan karena malas, bukan karena tidak berusaha. Tapi karena kerja, uang, dan rasa cukup sekarang jarang dibicarakan dalam satu napas yang utuh.
Kerja yang Tidak Pernah Selesai.
Dulu, kerja punya batas. Ada jam masuk, ada jam pulang.
Sekarang kerja itu menjadi kemelut pikiran yang masuk ke waktu malam yang seharusnya kita bisa tenang beristirahat, bahkan distraksi ini menggangu hingga ke akhir pekan, terus memenuhi pikiran di kepala. Yang berbahaya bukan kuantitas pekerjaannya, tapi rasa bahwa kerja itu tidak pernah selesai.
Selalu ada yang belum dikerjakan, yang bisa diperbaiki, yang harus dikejar.
Tanpa sadar, kerja berubah dari alat menjadi identitas.
Kalau tidak sibuk, kita merasa bersalah. Kalau istirahat, kita merasa tertinggal.
Padahal kerja seharusnya membantu agar hidup kita terus berjalan, bukan membuat hidup terasa seperti lomba tanpa garis akhir.
Kebutuhan yang Selalu Terasa Kurang.
Masalahnya sering bukan pada nominal. Tapi pada hubungan kita terhadap uang. Uang hari ini bukan cuma alat tukar. Ia berubah jadi ukuran keberhasilan, pembanding hidup, sumber rasa aman, sekaligus sumber dari segala kecemasan.
Saat uang bertambah naik, standar hidup ikut naik. Saat standar naik, rasa cukup bergeser lagi. Bukan karena kita serakah. Tapi karena tidak pernah diajarkan kapan harus berhenti mengejar. Akhirnya, uang selalu terasa “kurang sedikit lagi”. Dan “sedikit lagi” yang mana hal itu tidak pernah akan selesai.
Rasa Cukup yang Hilang Arah
Rasa cukup sering disalahpahami sebagai pasrah. Padahal rasa cukup bukan berarti berhenti bertumbuh.
Rasa cukup adalah titik sadar. Sadar bahwa hidup tidak harus maksimal di semua hal, tidak semua peluang harus diambil, tidak semua ambisi harus dipenuhi sekarang.
Rasa cukup bukan mematikan mimpi. Ia justru menjaga mimpi agar tidak membakar diri sendiri. Tanpa rasa cukup kerja jadi beban, uang jadi kecemasan, hidup jadi perlombaan tanpa makna dan tanpa akhir.
Ketika Kerja, Kebutuhan, dan Makna Tidak Bertemu
Banyak orang sebenarnya tidak salah arah. Mereka hanya lelah. Lelah bekerja tanpa tahu “untuk apa”. Lelah mengejar uang tanpa tahu “kapan cukup”. Lelah hidup tanpa sempat bertanya “apakah ini hidup yang saya mau”. Masalahnya bukan kurang motivasi. Masalahnya terlalu lama tidak berhenti untuk menyusun ulang logika hidup.
Menyusun Ulang, Bukan Mengganti Hidup
Tidak semua orang harus merubah arah. Tidak semua harus pindah jalan. Tidak semua harus memulai dari nol.
Kadang yang dibutuhkan hanya mengurangi satu ambisi yang tidak penting, menghentikan satu pembanding yang melelahkan, mengembalikan kerja ke fungsinya semula. Kerja itu sebagai alat. Alat untuk memenuhi kebutuhan hidup. Uang sebagai sarana. Hidup sebagai tujuan bukan sebaliknya.
Penutup: Cukup Itu Kesadaran, Bukan Angka
Tidak ada angka universal untuk rasa cukup. Yang ada hanya kesadaran personal.
Cukup adalah saat kerja tidak lagi menggerus jiwa, uang tidak lagi mengendalikan pikiran, hidup terasa utuh, meski belum sempurna.
Mungkin kita tidak perlu hidup dengan target yang terus menanjak, ambisi yang terus naik, dan pembuktian yang tidak ada habisnya.
Mungkin kita hanya perlu hidup dengan lebih sadar—tahu kapan mengejar, kapan berhenti, dan kapan merasa cukup.
Di zaman yang serba cepat ini, kesadaran seperti itu justru menjadi bentuk kekayaan yang paling jarang dimiliki.
Loka Dwiartara
Sahabat